Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Pakar dalam psikologi
perusahaan dan sumberdaya manusia.
(Ditayangkan di KOMPAS, 15 Maret 2008)
Meskipun pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang tidak komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara proses pembelajarannya sering tertinggal dan tidak didalami.
Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada keluarannya. Kita sering tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau tidak. Belum lagi, kesempatan ”benchmark” atau ”studi banding” sering tidak kita manfaatkan betul sebagai ”pelajaran”.
Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Discipline banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di Negara tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia.
Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.
Peter Senge berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru.
Untuk menjadikan sebuah organisasi atau bahkan negara pembelajar, kita memang perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita.
Jangan Meraba-raba
Secara “back to basic” marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar US dollar. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang berobsesi untuk memperoleh data yang benar.
Eksperimen dan Riset Tak Selalu di Laboratorium
Dari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul “riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegiatan ”mencari tahunya”. Misalnya,”Saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik di beli Canon atau Nikon” atau “Saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawi saja selama seminggu”. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru.
Ini sangat berguna bagi kita yang memang selalu harus memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan kesempatan yang kita alami.
Belajar di Mana Saja, Pada Siapa Saja
Dalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, menemukan persepsi dari sisi lain ”best practise” dalam implementasi, penyelesaian pekerjaan, sikap kerja.
Best practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem ’lesson learnt’, di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai ”Santayana Review” yang berasal dari ahli filsafat George Santayana yang pernah menyatakan: “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”
Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana cara kita mengajukan pertanyaan dalam mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam pengetahuan di organisasi kita. Tentunya cara yang ”friendly” untuk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan dengan situasi massanya.
Bagaimana dengan Anda para Guru? Tidak cukup kan kalau hanya bermodal bisa mengajar dan membuat perencanaan serta lembar kerja siswa? Perlu membuka mata hati agar jati diri kita sebagai Guru makin mumpuni. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan SMS ke 0856 8040 385.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar