Pahami Peta Persoalannya
Pikirkan dan Perbaiki
Simaklah media dan diskusi-diskusi yang diadakan oleh para cerdik pandai yang prihatin pada pendidikan – khususnya pendidikan dasar. Kritik pedas sering terdengar.
Sesungguhnya, apa sih persoalan pendidikan kita ini? Terlalu banyak beban kurikulum salah –katanya sarat akademis. Ikut olimpiade salah – kata orang hanya mengedrill otak kiri. Pemerdekaan pendidikan kata¬nya nggak kompetitif, nggak punya dasar lah, tidak ada tujuan lah. Lebih bagus yang dulu dibanding kini.
Depdiknas sebagai lembaga tinggi pendidikan pun tak jarang menerima limpahan kekesalan. Yang korup lah, birokrasi politis yang bersliweran proyek, hmmm….Sampai di mana perjalanan kita sebenarnya?
Darmaningtyas, tokoh vokal yang kini menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa memberi gambaran persoalan pendidikan dasar di Indonesia. Ia membedakan dalam 3 permasalahan, yakni: 1) Makro, meliputi persoalan filosofis, ideologi dan budaya; 2) Meso (tengah), yang meliputi masalah kebijakan, politik pendidikan dan otonomi daerah; serta 3) Mikro, yang mencakup angka partisipasi pendidikan, angka DO, kelulusan, gedung, prasarana dan sarana.
PERSOALAN MAKRO
Setelah reformasi 1998, filosofi pendidikan menjadi krusial, karena muncul berbagai kelompok kepentingan yang masing-masing mengusung aspirasinya agar menjadi platform bangsa. Di lain pihak, sisa-sisa Orde Baru menyisakan persoalan filosofis, yang menempatkan pendidikan sebagai abdi kekuasaan, yang mengabaikan pemerdekaan pendidikan.
Jika dibandingkan antara UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas dengan UU No. 4/1950, disinyalir yang tahun 2003 itu terlalu banyak maunya, sehingga tidak jelas. Rumusan tahun 1950 lebih sederhana, tidak berbelit, memilki makna individual, sosial dan kebangsaan, yang mungkin merupakan turunan rumusan Ki Hajar Dewantara, yang meletakkan dasar-dasar pendidikan sebagai penuntun keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Ideologi pendidikan di Indonesia cenderung liberal, lebih menitikberatkan penguasaan kompetensi, yang selalu mengacu pada kebutuhan dunia kerja kapitalis. Kredonya adalah ‘pendidikan untuk bekerja’. Inilah yang menafikan dimensi kemanusiaan. Pendidikan tidak diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sebagai manusia merdeka berdaulat. Terjadilah dehumanisasi pendidikan. Pendidikan hanya menghasilkan manusia robot, mekanis, individualistis. Sementara sopan santun, kehalusan budi, akhlak mulia, tidak diasah.
Pendidikan liberal menuntut metode student centre (sebagaimana tuntutan KBK). Kondisi umum di lapangan, masih banyak sekolah yang mengenyam proses teacher centre. Terjadilah gagap proses.
Desentralisasi dan otonomi daerah melahirkan politik demokratisasi, yang sesungguhnya memberi kewenangan daerah mengelola secara mandiri. Kebijakan ini menuai masalah, manakala Ujian Nasional (UN) dengan standar nasional dijadikan penentu kelulusan. Kecurangan pun merebak.
Nation & Character Building, yang dulu didengungkan Bung Karno, yang meliputi kemandirian, demokrasi, persatuan nasional, dan martabat internasional kini mengalami degradasi luar biasa. Krisis kepercayaan pada pemerintah selalu dianggap tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Di sisi lain, pemerintah tak mandiri dari tekanan internasional, utamanya dalam perekonomian. Kita kerap menjadi bulan-bulanan kasus perbatasan dan budaya.
Mestinya nation & character building yang menyangkut wawasan kebangsaan, sejarah, nasionalisme, tidak sekedar disampaikan secara hafalan. Siswa jadi meremehkan hal ini. “Kebanyakan teori,” kata mereka.
Kemiskinan menyumbang dampak terberat pada pendidikan. Wajib belajar sembilan tahun yang targetnya usai di tahun 2008, urung terpenuhi. Anggaran 20% tak menjangkau kehidupan rakyat kebanyakan. Di sisi politik, sejak Orde Baru, pendidikan formal adalah alat melanggengkan status quo pemerintah melalui indoktrinasi P4. Daya kritis siswa dikerdilkan. Semua seolah baik-baik saja tak perlu diributkan. Hegemoni politik tertuang dalam berbagai kebijakan, mulai dari kurikulum, materi pelajaran, buku ajar, orientasi pendidikan, yang semuanya dibuat seragam. Jabatan penting di jajaran birokrasi diisi oleh orang yang minim pemahaman, sehingga banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Globalisasi, the world is flat. Semua yang datang dari Barat seolah jaminan mutu. Laporan dari Global Monitoring Report dan Program of International Student Assessment yang selalu melaporkan keterpurukan sumber daya manusia Indonesia, ditelan mentah-mentah sebagai dasar pengambilan keputusan.
Prof. Winarno Surachmad menyatakan: “Pemerintah silau oleh kemajuan Barat, hingga makin didikte. Misal, pada pemberlakuan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang mulanya adalah konsep manajemen sekolah di Australia. Padahal ini tak sesuai dengan sosio kultural masyarakat. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (DPKS) agaknya sekedar mengganti organisasi yang sudah ada,” jelasnya.
Globalisasi menaikkan kecenderungan internasionalisasi sekolah. Banyak siswa Indonesia belajar ke luar negeri dan tak kembali lagi ke tanah air karena kurang apresiasi. Sekolah internasional juga menjamur. SBI di sekolah negeri dibanjiri orang tua. Dari sisi anggaran, sekolah-sekolah ini menyedot banyak anggaran. Padahal masih banyak sekolah reyot yangmemerlukan bantuan.
PERSOALAN MESO
Isu politik, ekonomi, sosiologi dan budaya secara langsung memepengaruhi praksis pendidikan. Akibatnya adalah inkonsistensi kebijakan. Ganti mentri ganti kebijakan. Ebtanas dan NEM dan kini UASBN adalah contoh inkonsistensi kebijakan yang mengacaukan fokus pembelajaran.
Desentralisasi pengelolaan pendidikan, manipulasi konsep MBS, adalah tataran persoalan meso.
PERSOALAN MIKRO
Mencakup persoalan ruang kelas, kinerja Guru, kinerja siswa, gedung sekolah, angka mengulang/putus sekolah, buta huruf, kerusakan fasilitas, buku, laboratorium, kurikulum, partisipasi orang tua, masyarakat, praksis pendidikan keluarga, pendidikan Guru, pendanaan dan anggaran.
Ketersediaan dan kualitas Guru, tak habis dibahas, di tengah kegundahan kurikulum dan buku ajar. Penentuan biaya pendaftaran dan SPP liar beredar. Kesenjangan sekolah konvensional dan sekolah active learning mengakibatkan perbedaan kualitas yang menyolok.
Guru lulusan agama sudah jauh melebihi kapasitas. Itu sebabnya banyak sarjana agama yang mengajar mata pelajaran sains, matematika, dan lain-lain. Ini jelas tidak menguntungkan. Banyak pula Guru yang mengajar di luar bidangnya. Mismatch. Lulusan sejarah mengajar sains dan sebaliknya.
Semua bicara pendidikan. Semua bicara solusi. Darmaningtyas memberi wacana yang sarat politik: ”Utang dan korupsi, racun pendidikan”. Ya, akar masalah yang makin memberatkan makro, meso dan mikro adalah ketidakefisienan dan kebocoran anggaran alias korupsi.
Peta permasalahan metinya Anda pahami. Lantas, mulai benahi sebisa yang kita dapat lakukan di lingkungan terkecil. Persoalan mikro lebih banyak berkelindan di dekat kita. Namun jangan apatis dengan persoalan meso dan makro. Meski kita sulit menjangkau. Kesadaran pada persoalan makro akan mengarahkan peta pikiran kita agar tak sempit memandang masalah pendidikan adalah soal gaji kurang dan berburu sertifikat.TG
Sumber:
Pustaka Yashiba, 2008.
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
2 komentar:
ah...andai saja orang pemerintahan yg pinter mau mendengar yg bapak keluhkan,pendidikan kita pasti jauh lebih baik tdk seperti sekarang terkesan dipaksakan agar keliatan lebih keren sistemnya..padahal membingungkan,kasihan anak-anak kita.
Ideologi Pendidikan di Indonesia tidak bisa lepas dari Sosio-Historis bangsa ini. Karenanya, menengok ke sana atau dari sana akan sangat membantu kita memahami akar permasalah pendidikan di negeri tercinta ini.
Posting Komentar