April 29, 2009

Dari Cawas Mampir mBantul



…Bagaimanapun De Britto adalah yang membesarkanku…
De Britto adalah sebuah jalan hidup yang sudah kupilih…

Bermula dari pertemuan dengan Suster Wina FCJ di Jl. Gejayan suatu pagi, langkahku di De Britto, Yogyakarta dimulai. Sebenarnya sudah cukup lama Suster yang juga guru pembimbing waktu praktik di De Britto itu ingin bertemu untuk menawari jadi guru De Britto. Keraguankulah yang menunda pertemuan itu. Salah satu alasan kenapa aku ragu, aku sedang bergulat dengan skripsi. Berdasarkan pengalaman banyak teman, kerja dan mendapatkan uang seringkali lebih menggiurkan ketimbang meyelesaikan skripsi.

Akhir 1998 selesai kuliah, tetapi baru pertengahan 1999 aku mengawali karirku di De Britto, sebagai seorang guru. Inilah pengalaman pertama kerja di institusi formal. Tidak mudah! Sebab, untuk bisa mengerti di kolese ini harus mencari tahu sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu aku tidak hanya mengajar matematika, tapi juga mengajar teater di sore hari. Sebuah ‘kesenangan’ yang kupelihara sejak mahasiswa yang ternyata membawaku mengenal De Britto lebih mendalam. Kesenangan itu pula yang membuatku menghabiskan hampir setiap sore di De Britto selama lima tahun berikutnya.
Salah satu nilai yang mengusikku di awal perjalanan ini adalah "kebebasan". Kebebasan seolah menjadi ciri khas, jargon, dan sekaligus mantra di sekolah ini. Cukup lama aku memahami dan menggali makna pendidikan bebas di kolese ini dengan bertanya, membaca, mengamati, dan merenung-renung. Aku melakukan itu agar tidak salah dan latah tentang kebebasan. Supaya mendapatkan pemahaman yang utuh tentang kebebasan, yang dihidupi di kolese ini.

Bagiku kebebasan tidak hanya berkait dengan pilihan dan tanggung jawab yang mengiringi sebagai konsekuensi. Kebebasan merupakan hal yang mendasar yang tak bisa dilepaskan dari proses mencipta. Sebab hanya orang bebaslah yang bisa mencipta, berkreasi, dan menghasilkan karya berguna (migunani tumraping liyan). Nilai inilah yang mendasari, menginspirasi, dan membuatku kuat serta berani menentukan pilihan-pilihan hidup selanjutnya. Setelah aku merasa bebas secara ekonomi, tak lama setelah bekerja di De Britto, aku berteguh hati untuk menikah.
Meski belum begitu jelas aku merasa yakin dengan masa depanku di De Britto. Pasti ada jalan bagi yang berani. Tahun itu, selain di De Britto aku juga mengajar di SMA Stella Duce 1, dan menjajakan matematika dari rumah ke rumah atau dari kos ke kos untuk menghidupi keluarga baruku. Hal ini semakin meyakinkan bahwa pilihanku bisa aku pertanggung jawabkan.

Setelah hampir satu tahun mengontrak, menjelang kelahiran anak pertama kami pindah ke rumah di Cawas. Pilihan ini aku ambil karena sejak awal aku punya mimpi, aku ingin masa kecil anak-anakku di mulai dari desa, biar dekat dengan alam, tumbuh dari lingkungan yang masih kental dengan kebersamaan. Konsekuensi dari pilihan ini, aku harus nglaju dari Cawas ke Yogya setiap hari.

Berangkat pagi-pagi, ketika orang lain masih memicingkan mata belum begitu tersadar dari bangun tidurnya dan pulang ketika semua pintu rumah-rumah sudah tertutup dan terkunci. Aku jalani semua itu sama seperti mereka yang bergegas pagi-pagi, aku juga menyimpan harapan dan masa depanku di De Britto. Meski kalau mau jujur, waktu itu honor di De Britto selalu hanya cukup untuk membeli susu anakku, toh masa depanku di De Britto semakin terpampang jelas.

Demi menghargai dan membahagiakan mertuaku, mulai 2001 aku pindah ke Bantul, tanah kelahiran istriku dan nantinya anak keduaku. Serupa di Cawas, aku pun harus nglaju dari Bantul setiap hari, berangkat pagi, pulang malam hari. Sesekali menyesatkan diri di Bener untuk bermain teater atau sekedar obrolan ringan di Wirobrajan.

Pada 2001 pula aku ‘menikah’ dengan De Britto dan aku menyerahkan hidupku untuk De Britto. Separuh waktu hidupku aku habiskan di De Britto. Pagi sampai siang mengajar matematika dan sore mendampingi anak-anak berteater. Di sela-sela itu aku mendampingi presidium, bekerja di Litbang atau menjadi bagian tim kurikulum. Boleh dibilang aku begitu bersemangat dan berdarah-darah. Membayar kepercayaan dengan totalitas dan loyalitas.
Namun, jalan memang tidak selalu mulus. Dalam perjalanan selanjutnya aku sering mendapati "cermin retak", ketidakseimbangan yang mengecewakan yang membuatku lelah. Enam tahun cukuplah aku berhenti sejenak.

Kesempatan rehat sejenak itu juga aku manfaatkan untuk banyak menulis, kembali mengajar secara mendalam dan bereksplorasi tentang matematika, serta memberikan waktu dan perhatian kepada keluargaku. Kesempatan menantang dan menguji kesabaran diri dengan mengajarkan matematika bagi mereka yang sangat kesulitan dengan matematika.

Meski mundur sejenak bukan berarti aku melepaskan diri, tidak perduli dengan apa yang sedang berlangsung di De Britto. Aku selalu ada untuk De Britto, tetap melihat meski tidak cukup banyak terlibat. Bagaimana pun De Britto adalah tempat yang membesarkanku. De Britto adalah sebuah jalan hidup yang sudah kupilih.

Dan setelah rehat beberapa waktu – melihat dari pinggir. Aku menemukan kembali semangat baru untuk terlibat dan bergulat lagi. Kini aku berdiri lagi di sini, siap sedia kembali untuk berpikir dan berbuat demi De Britto, jalan hidup yang telah kupilih. TG

Hj. Sriyanto
guru De Britto, Yogyakarta


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385

Tidak ada komentar: