April 29, 2009

GKR Pembayun : Jati Diri Bangsa






Majalah Teachers Guide beruntung mendapat kesempatan tatap muka langsung dengan putri pertama Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Rumah yang ditempati kini dinamai sebagai ndalem Wironegaran, yang berasal dari nama suaminya, KPH Wironegoro.
Dalam keseharian, GKR Pembayun yang memiliki dua buah hati ini disapa dengan Jeng Sari, nama kecilnya sebelum menikah. Manis, tatapannya tajam, senyum merekah. Santun sebagai putri raja yang mendapat banyak pitutur (petunjuk) dari leluhurnya mengenai tata krama. Sebagai putrid raja yang peduli pendidikan, berikut pendapatnya tentang pendidikan di kota Yogyakarta dan pendidikan nasional.

Secara umum, apakah Yogyakarta masih dapat dikatakan sebagai ikon pendidikan?
Masih, walaupun memang dalam beberapa tahun terakhir terjadi penurunan jumlah calon mahasiswa daerah (dari luar DIY) datang ke Yogyakarta. Fakta Ini bukanlah berarti bahwa Yogyakarta bukan menjadi ikon pendidikan lagi. Karena indikasi ’ikon’ bukan hanya terletak pada kuantitas atau jumlah mahasiswa yang belajar di Yogyakarta, tetapi lebih utamanya pada faktor kualitas atau mutu dari peserta didiknya (out put), di samping faktor-faktor pendukung lainnya seperti kualitas tenaga pengajar, profesionalisme pengelola lembaga pendidikan serta daya inovasi dalam bidang manajemen dan administrasi (faktor SDM), fasilitas belajar dan aspek lingkungan, kelengkapan laboratorium untuk riset (prasarana fisik), support system pendidikan di bidang IT dan sebagainya.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa berkurangnya jumlah calon mahasiswa ke Yogyakarta cukup membuat panik pengelola atau stakeholders di bidang pendidikan. Tetapi ini pun tidak bisa dihindari, mengingat kebijakan otonomi daerah berpengaruh langsung bagi tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah atau propinsi lain di Indonesia, di samping faktor ekonomi yang berdampak kepada kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di luar daerah.

Artinya bahwa menurunnya jumlah calon mahasiswa yang datang ke DIY bukan karena terjadinya penurunan kualitas pendidikan atau DIY bukan lagi sebagai ikon pendidikan melainkan ini pengaruh dari kebijakan yang sifatnya nasional dan tuntutan zaman.

Sejauh mana perkembangan pendidikan di Yogya di tengah paradigma baru pendidikan dewasa ini? Indikator-indikatornya, gerakan, geliatnya, dan sebagainya?
Dari sekian banyak perubahan paradigma pendidikan, paling tidak ada dua hal yang berdampak langsung pada perubahan peranan sebuah lembaga pendidikan. Pertama, adalah metode pembelajarannya. Apabila dahulu guru menjadi sumber utama (murid berkiblat pada guru dan bersifat satu arah) sekarang lebih menitikberatkan pada aspek multi arah dan berorientasi pada siswa. Kedua adalah manajemen sekolah.

Dulu sekolah berjalan sendiri-sendiri (non jaringan), sekarang lebih menitikberatkan pada peran dan fungsi jejaring antar institusi pendidikan untuk dapat saling bertukar informasi dan sumber daya. Di Yogyakarta, berdasarkan riset yang kami lakukan (melalui Yayasan Anak Bangsa Mandiri tahun 2000-2005) dapat disimpulkan bahwa Yogyakarta tetap leading pada bidang tersebut, utamanya dalam mengantisipasi perubahan dan konsistensi dalam implementasi perubahan paradigma tersebut.

Apa yang dibutuhkan untuk segera mewujudkan perubahan pendidikan ke arah yang lebih patut dan dapat menyongsong era global, namun tetap menjunjung tinggi warisan budaya negeri, sehingga tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa?
Perubahan paradigma adalah kehendak zaman. Artinya perubah­an tersebut adalah tuntutan dari perkembangan kehidupan manusia yang memang selalu melaju ke depan (hidup tidak surut ke belakang). Karena kita hidup di era global, maka globalisasi adalah isu yang stategis. Tetapi bila kita hanya mengejar kepentingan tersebut dalam kondisi yang “kosong” maka tentu kita akan kehilangan jatidiri sebagai bangsa. Sementara di satu sisi tujuan pendidikan adalah memuliakan dan menjadikan sebuah bangsa bermartabat, maka yang paling dibutuhkan adalah karakter.

Dimensi ini haruslah diperhatikan dalam proses pendidikan, yakni kesadaran seseorang akan potensi dan kapasitasnya yang khas, yang membedakan dirinya dari orang lain. Aktualisasi kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus sese­orang, yang memungkinkan dirinya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. Intinya di sini perlu mengemukakan tentang kearifan dan kebijaksanaan lokal dan budaya menjadi tulang punggungnya.

Dengan segala kiprah selama ini, apa yang menurut Jeng Sari masih sulit untuk di ubah, untuk diajak melakukan peningkatan kompetensi?
Yang sulit diubah adalah “ego sektoral”. Ini yang menyebabkan sulitnya membangun semangat bersama. Implikasinya, masing-masing lembaga yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pendidikkan seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa program yang terintegrasi dan sinergis.

Bagaimana kondisi Guru di Yog­ya­­karta. Apakah sudah tersentuh paradigma baru yang meninggalkan gaya lama yang teacher center menjadi student center?
Perubahan paradigma itu meliputi kesemuanya, tidak terkecuali guru. Artinya berdasarkan riset kami, kondisi guru-guru di Yogyakarta sudah tersentuh oleh paradigma baru tersebut. Training sudah banyak dilakukan. Kebanggaan seseorang pernah sekolah di Yogya masih ada.

Apa harapan dan impian Jeng Sari ke depan?
Pendidikan kita benar-benar memenuhi kiprah dan hakikatnya. sehingga meningkatnya kualitas SDM Indonesia. Pendidikan harus menumbuhkan kualitas pikir, kualitas karya, semangat juang pantang menyerah, bermoral, tidak tercerabut dari akar budaya yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup.

Di tengah perbincangan, datang menghadap seorang perempuan berumur. Sesaat perempuan itu menciumi kaki Jeng Sari sambil me­ngatakan bahwa dia telah merawat ayahanda Jeng Sari sejak kecil. Usianya kini sudah lebih dari 100 tahun. Namun cara jalan dan pendengarannya masih sangat baik. Hmmmm..... mestinya banyak laku yang bisa dicontoh, bagaimana dia menjaga kesehatannya hingga tetap baik di usia senjanya.

Kembali ke masalah mempertahankan jati diri. Apa lagi yang harus kita lakukan?
Saya koq tidak setuju ya, kalau sekolah sudah mengajarkan bahasa asing lalu meninggalkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Coba kita pergi ke Cina, ke Jepang, ke Jerman, mau tidak mau, kita harus mempelajari bahasa tersebut jika akan tinggal beberapa saat atau sekolah di sana. Nah, wajar dong, kalau bahasa Jawa juga harus menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang bersekolah di sini. (di Yogya-red)

Apa yang sudah menjadi gerakan di Yogya? Apa yang penting diwaspadai oleh praktisi sekolah?
Di dunia pendidikan, serba dilema. Serba tanggung. Tuntutannya adalah bertaraf internasional. Tapi kemudian yang nasional dibilang kuno. Ya boleh –boleh aja sebenarnya. Tapi apakah sejak SD sudah internasional? Anak kan harus tahu dulu fondasi, budi pekerti, jiwa nasionalisme, dan kedaerahan yang tinggi. Kalau SMA, okelah. Mungkin setelah itu mereka akan ke luar negeri. Jika sejak kecil sudah harus bahasa Inggris, nanti bahasa daerahnya hilang. Menurut saya, sampai SMP, belum perlu belajar bahasa asing. Saya sendiri, baru SMA belajar bahasa Inggris, dan bisa. Saya lihat, tata krama ini lho yang hilang.

Mestinya ada regulasi, kapan harus menjadi internasional. Budaya dan budi pekerti dan fondasi anak harus kuat. Kalau sekarang banyak kritik bahwa anak muda tidak punya nasionalisme, ya wajarlah. Lha wong nggak diajari!

Budaya bukan hanya tarian kan. Tapi nilai kehidupan, pola kehidupan, dan bahasa. Bagaimana kita mau mempelajari budaya, jika tidak bisa berbahasa? Kalau pun nantinya ­nggak terpakai, ya nggak jadi masalah. Pokoknya di mana sekarang berada, pelajarilah bahasa setempat. Sekolah menjadi kendaraan untuk melangkah dan mendidik, juga mengajarkan.

Saya juga sekolah di luar. Ketika ada acara di kraton, saya harus pulang. Dulu sih saya pikir, repot lah, ngehabisin uang, tapi sekarang saya paham, bahwa itu perlu untuk mendidik saya memahami tata cara kraton.
Di akhir pertemuan, kami ingin Yog­ya kembali menjadi magma pendidikan yang terus menerus memegang teguh jati diri bangsa, namun bisa melangkah di tengah pergaulan antar bangsa.
Kami pamit, tiupan angin yang wangi bau tanah dan dedaunan, ditingkahi suara ayam jago yang bersuara khas. Dalam pejalanan, kami temui kearifan lokal yang selalu membuat rindu, seperti syair lagu Katon Bagaskara. “….Pulang ke kotamu, ada saja sajian khas berselera, orang duduk bersila ......”
. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.

Tidak ada komentar: