Setiap kita boleh saja mengklaim diri profesional. Pagi berangkat mengajar, sore baru pulang. Setiap hari tampil di muka kelas, tak pernah membolos. Mengajar dan mengajar adalah prioritas kita. Apakah kita tergolong profesional?Alasan menjadi guru, berpengaruhkah terhadap profesionalisme?
Disebut profesional, haruslah mendapatkan pengakuan lingkungan. Tak sekedar penegasan diri saja. Atasan, rekan kerja, masyarakat sekitar, bahkan murid-murid patut didengar pengakuan keprofesionalan kita. Bayangkan jika ada murid mengkritisi lantaran Anda mengajar membosankan.
Menjadi profesional memang tak mudah, nilainya selalu berubah. Dulu, berbekal ijazah SPG cukup, kini ijazah SLTA dipandang sebelah mata. Kadang guru yang lama mengajar (senior), dinilai sudah profesional. Guru di Aceh berbeda standarnya dengan di Jakarta atau Papua. Di sekolah bilingual, syarat guru profesional jika mahir berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Beberapa kendala profesionalisme:
* Materi: Uang menjadi faktor mahapenting -- untuk hidup, membeli buku, mengakses informasi. Tanpa uang, guru bertahan menggunakan buku-buku tua. Kurang uang, kerja sambilan yang mengurangi perhatian pada tugas utama.
* Gaya hidup: Guru juga manusia. Ketika merasa ‘kuno’, mencoba mengubah gaya penampilan, meski terpaksa berhutang kiri-kanan.
* Teknologi: Penggunaan komputer dan multimedia telah menjadi kebutuhan. Jika guru gagap teknologi, bagaimana?
* Infrastruktur pendukung: keterbatasan sekolah belum mampu menyediakan fasilitas memadai.
* Kesibukan di luar : Ada profesi lain atau terlibat kegiatan sosial, bisa mengurangi waktu untuk profesi. Perlu manajemen waktu yang baik.
* Pasangan hidup: Idealnya keluarga mendukung pilihan menjadi guru. Jika tidak, bisa menjadi beban karena tak ada keleluasaan.
* Intrik antar kolega: Sering ada perselisihan di tempat kerja, yang perlu diselesaikan dengan baik
* Pandangan rendah: Masyarakat dan dunia usaha belum menganggap sekolah/kampus dan guru sebagai partner.
Idealnya, seorang guru memiliki keseimbangan antara output dan input.
Output adalah segala bentuk pengeluaran yang didedikasikan guru -- waktu, tenaga, pikiran, maupun materi. Sedangkan input adalah segala yang diterima: penghargaan, gaji, kesempatan mengembangkan karir. Tanpa keseimbangan keduanya, guru mudah frustasi, yang memerosotkan kualitasnya.
Menilai Dasar Motivasi
Ada dua alasan memilih profesi ini. Pertama, yang menjadikan profesi guru sebagai kebutuhan (rohani). Mengajar, bagi mereka, sebagai pengabdian, bentuk tanggung jawab sosial, hobby, kerja patriotik, menyenangkan, bahkan ibadah (spiritual). Mereka ini toleran akan keterbatasan, menempatkan persoalan sebagai tantangan, haus ilmu, dan ingin terus berlatih.
Sedangkan kelompok kedua, yang memenuhi kebutuhan hidup (jasmani) dengan menjadi guru. Menjadi guru untuk mencari nafkah. Pengabdian dianggap hanya sebab-akibat. Bagi kelompok ini, bersiaplah kecewa mengingat penghasilan guru sangatlah terbatas. Mereka merasa aman sentausa setelah kebutuhan jasmani terpenuhi, di luar itu bukan urusannya.
Pada kenyataannya, tanpa mengurangi rasa hormat, kita mendapati begitu banyak kasus guru yang semata-mata mengandalkan hidupnya dengan berprofesi tunggal yaitu guru. Mereka sangat berdedikasi dan benar-benar mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk profesinya. Dari contoh kelompok ini, ada yang bisa hidup tentram penuh penerimaan, ada juga yang gelisah tak berkesudahan karena tak puas dengan penghasilan.
Nah, dari dua kelompok ini, mana yang lebih profesional? Keduanya sama-sama memenuhi syarat sebagai guru profesional jika ditinjau dari syarat domestik yang menjadi tuntutan.
Perbedaan Motivasi bukan Penghalang Menjadi Profesional
Tak ada hal yang abadi, termasuk motivasi kita menjadi guru. Yang awalnya memilih profesi guru semata demi mencukupi kebutuhan jasmani, suatu ketika bisa berubah. Pun sebaliknya.
Bahan diskusi kita adalah:
1. Standarisasi profesionalisme guru mendesak dilaksanakan, proporsional, dan tidak memihak.
2. Profesi guru idealnya dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani secara seimbang.
3. Kekurangan suatu daerah atau institusi, bukan alasan untuk mengisolasi diri dari standar profesional
4. Hubungan vertikal dan horisontal antar insan guru sebaiknya dijadikan kekuatan untuk memecahkan masalah profesionalisme di lingkungan masing-masing, serta modal mengatasi kekurangan individu, kelompok, maupun sekolah.
Siapkah guru menjadi profesional lahir batin sesuai dengan standar nasional, bahkan internasional? Waktu akan membuktikan. TG
Usep Suhud, M.Si
Mengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta
usep.suhud@globalsarana.com
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar