April 29, 2009

EKONOMI !

Pernah mendengar guru yang mempunyai profesi sampingan sebagai pengojek? Pemulung? Tukang becak? Atau yang lebih keren: pengajar les tambahan, wirausaha MLM, atau penulis?

Ya, tentu kita semua sering mendengar kisah heroik para pahlawan tanda jasa ini dalam mensiasati kehidupannya. Faktor ekonomi yang serba kurang, menjadikan guru berjibaku mencari tambahan supaya dapur tetap ngebul.

Melihat realitas yang ada, guru dapat kita kelompokkan seperti berikut. Ada guru elit -- mengajar di sekolah favorit berstandar internasional, siswanya anak kalangan berada. Keadaan tersebut berkolerasi dengan gaji yang diterima, umumnya tingkat kesejahteraan guru terjamin.

Lainnya, guru berstatus abdi negara atau PNS, mendapat gaji lumayan di atas UMR sehingga tingkat kesejahteraannya juga tidak terlalu payah.

Kondisi terendah adalah guru honor murni, guru tidak tetap (GTT) baik pada sekolah negeri maupun di sekolah swasta pas-pasan. Mereka mendapat honor bulanan jauh di bawah UMR, berkisar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) sampai Rp 600.000 (enam ratus ribu). Dengan pendapatan ini, ia harus mencukupi berbagai macam kebutuhan seperti transportasi, biaya dapur, dan sandang pangan. Siapapun ahli ekonominya takkan mampu mengakatan ini cukup.

Pengalaman seorang teman seprofesi, sebelum menjadi guru ia bekerja di non keguruan dengan gaji memadai di atas UMR. Alasannya, supaya kebutuhan papan, sandang, dan pangan tercukupi dulu. Setelah berpunya rumah, kendaraan, dan pekerjaan sampingan, barulah ia menekuni profesi guru dengan tenang.

TAMBAH BERAT
Saat ini pemerintah mensyaratkan seorang guru harus profesional, harus Strata Satu, mempunyai akta IV, mengikuti sertifikasi kelaikan guru. Tujuannya, supaya guru yang lulus sertifikasi mendapat uang tunjangan tambahan selain gaji pokok, sehingga guru menjadi sejahtera.

Namun nasib baik itu belum dapat menyentuh ke semua lapisan guru. Prioritas peserta sertifikasi lebih diutamakan bagi guru tetap tetap/PNS. Kelak guru yang tak bisa memenuhi persyaratan tersebut tidak akan bisa mengajar lagi karena tersingkir peraturan.
Masih banyak guru yang sudah puluhan tahun mengajar, tapi belum S1, dan harus balik lagi ke bangku kuliah untuk belajar. Banyak kerepotan yang dialaminya, seperti kendala waktu, biaya, gairah belajar yang lama terkubur. Kegalauan tersebut menghantui pula para guru honorer yang bergaji di bawah UMR. Jika mengambil kuliah S-1, dari mana biayanya? Hidup sehari-hari sudah pas-pasan. Kuliah S-1 bisa tambah pusing tujuh keliling. Jika begini, apa ada harapan lebih baik bagi guru honorer?

Pemerintah sudah membuka kesempatan guru honor menjadi PNS asal lolos test. Namun syarataya cukup berat, yaitu usia di atas 35 tahun, pernah mengajar selama 12 tahun berturut-turut (bukti SK pengangkatan). Harus S-1 pula. Sedangkan kesempatan pun sangat kecil, lantaran pendaftar berbanding kebutuhan serupa 1 : 1000. Pada setiap sekolah negeri atau pun swasta sering kita temui jumlah guru honor yang cukup banyak, di sam­ping guru tetap.

Andai kesejahteraan mereka kurang diperhatikan, walhasil kita akan masih menjumpai guru ’nyambi’ ngojek, guru tukang becak, pemulung, jualan barang-barang, dan tukang kredit. Ini menjadi cermin wajah negeri kita. TG

Heri Ismanto S. Pd
Mantan guru honorer
di salah satu SMP di Kab. Bogor


---------------------------------------------------------------
Refleksi

Tulisan ini sengaja diluluskan untuk kami muat, meski TG sesungguhnya lebih menyoroti hal-hal yang positif, optimistis, semangat perubahan. Sangat banyak ditemui kondisi Guru dengan keluhan yang sama, menuntut pemerintah berbuat ini-itu.

Tanpa bermaksud membela pemerintah, melalui media ini kami mengajak para Guru untuk melakukan refleksi. Lihatlah cerita dan pengalaman para Guru di De Britto, Yogyakarta. Mengapa mereka bisa menghilangkan stigma diri sebagai Guru yang nelangsa, yang serba keku­rangan, menjadi Guru yang memilki semangat perubahan yang hebat, yang dapat mengantarkan mereka pada keadaan yang jauh lebih baik?

Berdasar kemampuan para Guru De Britto itu, mereka melakukan upaya yang bisa mengangkat harkat martabat diri dengan meningkatkan kemampuan berkarya, dan meningkatkan daya tawar (bargaining) mereka. Bukan dengan cara yang akan mempersulit ‘harga jual’ mereka sendiri sebagai agen perubahan.

Mau diskusi dengan rekan Guru dari De Britto? Coba berdiskusi dan menyerap ‘virus’ kemajuan dengan St.Kartono di 0856-2884443 atau via email: stkartono@yahoo.com

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda.
Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.

Tidak ada komentar: