Oktober 25, 2010

Build! Jangan Do. Business! Bukan Busyness

Edu Coach by ActionCoach


Sebuah pertanyaan dan tantangan bernada komersialisasi pendidikan tercetak di sebuah selebaran:
“Apakah Anda yakin, sekolah Anda akan mampu bersiang di tengah kompetisi yang makin ketat dan menuntut? Kalau Anda tidak mampu menjawab ‘ya’ dengan penuh percaya diri, maka Anda dan Kepala Sekolah Anda harus meluangkan waktu menghadiri seminar ini.”

Diterakan pula: “7 hal penting yang akan dikupas dalam seminar ini“ :
1. Bagaimana mendirikan fondasi yang kuat bagi sekolah yang sehat, menguntungkan dan langgeng?
2. Mengatasi persaingan biaya tanpa menurunkan biaya sekolah Anda.
3. Jurus praktis dan jitu menambah jumlah siswa hingga kapasitas penuh, bahkan menolak calon siswa
4. Mengapa 80% bisnis (termasuk sekolah) tidak bertahan lebih dari 5 tahun?
5. Bagaimana bekerja lebih sedikit namun menghasilkan lebih banyak pada bisnis sekolah Anda.
6. Membangun tim kerja yang solid, loyal, dan berinisiatif maju
7. Mengapa sekolah juara terus juara, dan sekolah kelas dua semakin tertinggal hari demi hari?

Agak jengah juga membaca tantangan itu. Bagaimana sebuah sekolah secara persis disandingkan dengan pemikiran bisnis. Sekolah kini memang menjadi lembaga bisnis. Kiprahnya sebagai lembaga sosial memang telah luntur diterjang arus komersialisasi pendidikan.

Seminar yang dipandu oleh seorang coach ini memang sengaja diperuntukkan bagi sekolah swasta. Adalah Han Budiyono, yang memiliki sebutan ‘Tiger’ dari Action Coach --sebuah perusahaan kelas dunia yang mengkhususkan diri di bidang Business Coaching. Perusahaan yang didirikan oleh Brad Sugars sejak 1993 itu kini telah memiliki perwakilan di 28 negara dan 600 kota dunia, termasuk Indonesia.

Han Budiyono adalah co master licensee yang saat ini menjabat sebagai direktur utama Action Coach Jawa Timur & Bali. Yang khusus, coach Han memiliki minat dan ketertarikan tinggi di bidang pendidikan.

Oke lah…… kita intip ajaran Han saat berbicara di tengah acara yang kurang pas, karena diadakan berbarengan dengan pelantikan pengurus BMPS kota Depok. Peserta yang tadinya mengharap dapat berpuas diri mencermati ajaran coach, sudah hilang moodnya manakala pelatihan baru mulai setelah seremoni penuh birokrasi tersaji bertele-tele.

Han bertanya pada peserta dengan nada lantang : “Apakah sekolah Anda sudah beroperasi 10 tahun? Apakah sukses? Maju? Tambah murid dan Guru? Kenyataannya , banyak bisnis gagal sebelum menginjak usia 10 tahun. Mengapa? Karena yang dilakukan hanya DO, bukan BUILD!” (Nah lho …..)

Samakan persepsi dulu, bahwa sekolah adalah sebuah bisnis (singkirkan dulu segala argumen jika tak sepaham). … “Business tak sama dengan busyness,” jelas Han.
“Definisi bisnis, adalah terbangunnya sebuah lembaga komersial (sekolah kan tak gratis - yang swasta-, maka dianggap komersial-red) yang menguntungkan, dan bisa berjalan ‘TANPA SAYA’. Ini banyak terjadi pula di sekolah yang dipimpin oleh pendiri sekolah, yang masih mengawal operasional sekolah day by day, karena tak memiliki orang kepercayaan sekuat penggagasnya.

Diajarkan mengenai 6 langkah sukses, yakni Mastery (menyangkut waktu, tim dan uang). Ke-dua adalah Niche (menciptakan sesuatu yang unik). Selanjutnya, Leverage, Team, Strategy dan Result.

Penggagal Kemajuan Sekolah

Secara mendasar, setiap orang harus membuat kemudahan mengelola sekolah. Dua hal yang membuat hal sederhana menjadi rumit adalah kebiasaan menyalahkan orang lain dan membuat alasan. Misal, menyalahkan sistem Diknas, nyalahin Guru yang tak cerdas, nyalahin sekolah lain yang masih berkutat pada bidang akademis semata. Ke-dua, kebiasaan menunda pekerjaan. Dua hal ini deicermati coach Han sebagai penggagal kemajuan.

Kebanyakan kepala sekolah tak bisa membaca laporan keuangan! Arus kas, rugi laba, balanced, dan uang masuk keluar. Padahal semua itu perlu untuk dasar pengambilan keputusan, kebijakan, agar tak ngawur ...

Pada level Mastery, pelajari beda antara penting dan mendesak. Persoalan jika sudah menjadi penting dan mendesak, akan mendatangkan stress. Kerjakan yang penting sebelum menjadi mendesak! Coach mengajarkan konsistensi, yang terbukti lebih penting daripada brilliant.

Menghadapi awal tahun ajaran baru, di mana semua sekolah melakukan upaya marketing, jangan salahkan keadaan ekonomi. Alasan daya beli menurun seringkali menjadi legitimasi kurangnya siswa. Padahal yang terjadi adalah melemahnya daya jual. Coba lihat, kalau dalih daya beli menurun mengapa tiap tahun tetap ada jenis mobil baru yang ditawarkan?

Sekolah seringkali tak sungguh-sungguh mengawal marketing. Waktu dan perhatian habis mengurus bagian produksi, konten, kurikulum, program, yang menjadi ruh pendidikan. Namun marketing sekolah adalah masalah edukasi dan komunikasi.
Coba para kepala sekolah, tahukah Anda apa saja keunggulan sekolah yang Anda pimpin? Atau sebaliknya, jangan-jangan hanya Anda yang tahu. Guru, staff, orang tua siswa, jangan-jangan hanya tahu sebatas yang tertera di brosur. Soal hidden curriculum yang menjadi pembeda sekolah, tak pernah dikomunikasikan.

Apalagi soal profit. Coach yakin tak banyak kepala sekolah yang bisa melakukan hitungan jumlah calon pelanggan x prosentase keberhasilan. Jumlah pelanggan x frekuensi pendaftaran x nilai transaksi = omset x marjin laba = PROFIT. Bingung kan?......

Jadi, mengapa sekolah nomor 1 tetap menjadi nomor 1, sekolah nomor 2 menjadi makin tertinggal? Coach bilang, sebabnya adalah pada perbedaan cara berfikir. Sekolah nomor 1 tahu, mana yang bersifat konsumtif, mana yang investasi. Mereka sudah bisa membedakan mana yang perlu efisiensi, yang diartikan sebagai kesanggupan memilih yang lebih mahal, namun lebih tahan lama . Misal, dalam menentukan alat peraga belajar. Balok yang dipilih jelas bukan sembarang produk kayu yang dijual tanpa memperhatikan presisi. Mereka memilih yang berkualitas.

Optimalisasi, Efisiensi, dan Maksimalisasi

Membuat sekolah berkembang sesungguhnya tak sulit. Berawal dari yang kecil, tepat guna (sesuai kebutuhan) dan konsisten.

Ada peserta yang bertanya: “Coach, strategi apa yang membuat sekolah bisa melonjak jumlah siswanya?”
Coah menjawab, “Jangan berfikir strategi jika belum bisa konsisten! Pikirkan! Bagaimana dengan hasil yang lebih besar, namun bekerja lebih sedikit? Caranya adalah dengan membentuk the winning team. Lebih baik menonjolkan salah satu kekuatan sebagai diferensiasi, daripada biasa-biasa saja di semua bidang. Misalnya, menonjol di pendidikan inklusinya. Menang di metode bahasa asingnya, dan sebagainya.”

Nah, pernahkah Anda mendengar pernyataan seorang pemilik sekolah berkata seperti ini: “ Jelas saja sekolah saya tak bisa maju. Orang-orang saya jelek kemampuannya!”. Inilah penggagal kemajuan itu. Coba sang pemilik ini mau menunjuk dirinya sendiri sebagai penanggung jawab, dengan melakukan refleksi. Jangan-jangan bukan tak punya orang yang cakap. Apakah orang yang cakap tadi mau bekerja di tempat Anda? Ini persoalannya!

Membentuk winning team, pertama kali adalah dengan memasukkan orang-orang yang sama tujuan. Istilahnya, “masukkan orang-orang yang tepat ke dalam bus”. Seleksi penumpang dari awal. Artinya, seleksi guru, seleksi orang tua, harus makin cermat dan sesuai dengan nilai-nilai sekolah yang akan dikembangkan.

Perhatikan bagan ini:
Aktif
D (dominan)-manager, pendobrak I (Intim) marketing
C (cermat)-teknisi S (sabar, stabil)
Pasif

Masing-masing D-I-C-S itu ada fungsinya. D adalah pendobrak, penggagas pekerjaan. Ini pimpinan. Sejumlah 99% pekerjaan tentu tak tuntas sendirian. Jadi perlu orang C. Semua pihak harus saling belajar dan mendukung. D harus belajar dari S, agar tak suka memotong pembicaraan orang, misalnya. Kalau bisa mengharmonisasi D-I-C-S, the right man on the right place, maka proses operasional sekolah akan EFEKTIF.

Jika Anda seorang pemilik sekolah, tugas Anda bukan melayani customer, melainkan men-support tim Anda, memuaskan tim, agar mereka bisa bagus melayani customer, dan membawa bisnis itu menyenangkan bagi Anda, pemiliknya!

Sampai pada tahap 4 (Team), jika sudah stabil, cukup! Jika sudah mapan semua, baru beranjak ke nomor 5, yakni Sinergi, dengan membuka cabang, diversifikasi, dan lain sebagainya.

Pertanyaan lain yang menarik dari salah satu peserta adalah: “Sekolah saya baru berdiri. Belum punya murid. Kami menjual program. Sementara orang tua mencari contoh lulusan sebagai hasil akhir. Sementara kami pun tak menjual fasilitas. Bukan itu ‘jualan’ kami. Kami lebih punya idealisme. Bagaimana coach?”

“Tak ada testemoni (pengakuan),” jawab coach Han. “Berikan saja garansi. Misal, bagi anak yang tak bisa ikuti materi, akan diberikan pengayaan khusus. Sejak awal harus dihitung untung ruginya. Tapi ingat, ini kan jasa pendidikan. Ciptakan rasa, apa yang Anda sampaikan, layak mereka bayar!” demikian penjelasan coach.

Sebagai penutup, coach Han berpesan, agar pengelola sekolah selalu mengasah team penjualan (marketing siswa). Produk bagus belum tentu bisa dijual. Apalagi produk jelek. Bikin perencanaan yang baik, dan jalin aliansi strategis dengan pihak lain.
Bagaimana rasanya? Sejalan saran dan cara berfikir bisnis ala coach untuk sekolah Anda? Jika tidak, sudah kami ingatkan, bahwa acara ini sudah diisyaratkan berbau bisnis sejak penawaran awal. Tinggal Anda pilah sendiri, mana bagian yang cocok, mana yang tidak.

Seringkali kita bisa temui, sekolah yang dikelola tanpa rancangan bisnis pun bisa eksis, dengan ketulusan dan keberkahan yang selalu dicari. Ini memang tak ada hitung-hitungannya. Renungkan! Jangan pula gegabah, meski sekolah adalah sebuah perjuangan, ketulusan, lantas tak dikelola dengan benar. Mengalir saja. Ya …, yang model begini langsung babal ketilep (bubar) juga banyak! Lengkapi diri Anda dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, agar ‘nyawa’ sekolah tetap menyala. Bisa dipelajari. Yakin!TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Tidak ada komentar: