Oktober 25, 2010

Gaya Sekolah Menjaring Calon Siswa

Marketing















Terpampang sebuah billboard besar di perempatan jalan utama:

Pendaftaran
Telah Dibuka untuk TK, SD, SMP, dan SMA:
Pendaftaran bulan Novemberdiskon 40%
Desember diskon 35%
Januari ’10 diskon 30%
Februari ’10 diskon 25%
Maret ’10 diskon 20%
April ’10 diskon 15%
Mei ’10 diskon 10%
Juni ’10 diskon 5%
Daftarkan Segera! Tempat Terbatas !


Di Padang, sebelum gempa melanda, sebuah billboard ukuran sekitar 5 x 3 meter menyolok terpasang di depan sekolah SMP yang berada di jalan utama :
Sekolah Bertaraf Internasional. Fasilitas : Gedung milik sendiri, Kolam Renang, Bahasa Inggris, Komputer, ….. (bla bla bla …). Di sampingnya, foto kepala sekolah, seorang ibu setengah baya berkebaya, besar sekali ukuran gambarnya!

Melihat publikasi sekolah yang pertama, seorang rekan berkomentar: “Mirip iklan factory outlet ya, banyak amat diskonnya. Tiap bulan beda lagi” . Sedangkan untuk iklan sekolah ke dua,saya sendiri bergumam: “Lha, narsis bukan hanya milik anak ABG dan para caleg. Kepala Sekolah pun pengin menunjukkan mukanya di depan khalayak ramai.”

Publikasi dan publisitas, adalah sebuah keniscayaan untuk membuat komunikasi dengan masyarakat luas. Di jaman informasi ini, komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi. Meski internet dan jaringan maya melanda semua lini kehidupan, media konvensional macam spanduk, billboard, dan poster masih marak dilakukan.
Tidak semua masyarakat pengguna sekolah mencari informasi melalui internet. Demikian alasan para pemilki sekolah yang menggelar spanduk rentang dan hanging banner, billboard atau papan iklan.

Masalahnya isi pesan yang akan disampaikan, kini makin mirip dengan iklan komersial produk dan jasa lain. Persaingan menjadi alasan juga. Bahkan memulai pendaftaran saat semester satu belum juga usai sudah seru dilakukan para marketer sekolah.
Hingga kini tak ada aturan bagaimana sekolah dikomunikasikan. Semua terserah praktisi dan selera pemilik sekolah. Sekolah negeri praktis tak melakukan promosi sekolah. Anggaran menjadi kendala, meski kadang arogansi sekolah favorit menjadi isu utama.

“Kalau di sekolah negeri, apalagi yang telah menjadi pilihan, tak berpromosi saja kami diserbu calon siswa. Sistem penerimaan yang menggunakan NEM juga menjadikan anggaran promosi di sekolah negeri tak perlu dibuatkan mata anggaran,” kata seorang kepala sekolah SMP Negeri.

Akan halnya kepala sekolah sekolah swasta yang cukup diminati di Jakarta Selatan, “Sekolah kami dikenal sebagai sekolah berbiaya tinggi. Asumsi kami, dengan memasang tawaran diskon, peminat dengan segera akan mengisi jumlah kursi yang tersedia. Sejauh ini belum ada survey, apakah mereka bergegas mendaftarkan putra-putrinya karena alasan diskon. Harus diteliti dulu,” jelasnya.

Segmentasi Menentukan
Sekolah harus mempelajari segmen siswa. Ini sebuah kerja keras terkini yang dilakukan di banyak sekolah swasta besar, di kota besar. Segmen orang tua yang mengutamakan kualitas, tak tergiur dengan diskon yang ditawarkan.

Segmen tengah paling sulit. Ke atas susah karena terbentur dana, ke bawah ogah karena terlanjur memiliki tuntutan dan selera sekolah bergengsi. Segmen tengah ini lentur dengan tawaran diskon. Sedikit perbedaan diskon saja, bisa membuat keputusan berpindah ke sekolah yang lebih royal potongan harganya.

Komunitas orang tua yang status-quo, yang memilih sekolah karena faktor kepemimpinan, akan mantap memilih sekolah dengan foto sang kepala sekolah di papan besar. Mereka beranggapan, kepemimpinan yang menonjol akan membawa kemajuan sekolah. Banyak benarnya memang. Jika suatu waktu sang pimpinan keluar, pindah kerja, dibajak sekolah lain atau mengundurkan diri karena alasan lain, maka biasanya terjadi gagap dan pengenduran peminat. Wah gawat.

Mana yang lebih efektif? Belum dilakukan survey. Kata hati pasti bertolak belakang dengan promosi publikasi dua sekolah di atas. Sekolah tetaplah menjadi lembaga yang memanusiakan manusia. Tak elok jika dikomunikasikan dengan gaya komersial diskon, ataupun dengan memamerkan fasilitas dan ketokohan. Proses pembelajaran kehidupan menjadi samar-samar.

“Sekolah kan jasa, sosial bisnis, yang masih sarat dengan nilai-nilai. Jangan diobral layaknya menjual obat”, jelas seorang principal sekolah bertaraf internasional di Jakarta.

“Sewajarnya. Tak perlu muluk, disain elegan, tampilkan wall of fame atau ketercapaian yang pernah dihasilkan. Bukan menonjolkan diskon dan pamer wajah pemimpin sekolah, apalagi janji dan fasilitas. Ada sekolah yang menonjolkan program kurikulum Cambridge, padahal saat itu baru taraf merintis. Wah, setelah murid didapat, program tak kunjung diaplikasikan. Konon biaya lisensi kurikulum belum beres. Wah …., jadinya berantakan. Orang tua merasa tertipu. Sekolah lelah dengan berbagai alibi,” cerita seorang mantan praktisi sekolah di daerah Tangerang.

Orang tua calon peserta didik memilih sekolah tidak dengan cara impulse buying. Menentukan dengan cepat dan segera saat itu juga. Kebanyakan masih dengan cara lama yang lebih dipercaya, yakni komunikasi langsung. Saat open house, umumnya diperlihatkan semua faktor penunjang sekolah. “Pakai saja event atau kegiatan lain yang menyentuh langsung calon orang tua dan siswa. Dengan begitu, jumlah siswa yang diharapkan akan lebih lestari atau lebih ‘berumur lama’, dibanding perolehan murid yang dilakukan dengan sentuhan komersial”.

Nah praktisi sekolah, pelajari kembali rencana publikasi dan publisitas sekolah. Lakukan dengan lebih patut. Strategi mendapatkan siswa baru akan lebih elegan jika dilakukan dengan tatap muka dan pendalaman kekuatan sekolah yang sesungguhnya. Demikian tarik menarik nantinya akan terjadi dengan lebih alami. Akan terseleksi, orang tua dan siswa yang sama vision nya.

Masalah di belakangnya masih panjang, karena itu penjaringan siswa lebih baik tak mengandalkan tawaran diskon atau wajah pemimpin. Tetaplah mengutamakan proses belajar. Ingat : Sekolah yang unggul itu bukan the best input, but the best process.TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569.

Tidak ada komentar: