Oktober 23, 2010

Mau Tunjangan? Mau Sertifikasi? Miliki dulu Nomor Unik!


“Hai teman-teman Guru dari TK dan SD, ayo kita foto. Hari ini terakhir ditunggu Diknas!” ajak Pak Yadi, kepala bagian kesiswaan sebuah sekolah swasta, yang selama ini mengurus eksistensi dan keberadaan Guru di tingkat Kecamatan hingga nasional.

“Ah … hari gini, foto aja mesti pergi ke sana. Kenapa tak di sekolah saja, kita kan punya kamera bagus, foto semua di sini, masukkan CD beres kan! Dari pada semua berbondong-bondong dan antri lama. Lebih efisien kan pak Yadi?” balas Bu Mala.

“Iya … memang lebih efisien. Tapi ini kesempatan kita semua Guru yang menjalani profesi kurang lima tahun untuk mendapatkan nomor induk. Sebutannya NUPTK - Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Selama ini kan kita dapat tunjangan sebulan dua ratus ribu rupiah, yang diberikan secara rapel tiap semester. Bagi sekolah macam kita yang sesungguhnya sudah sangat lebih baik tingkat kesejahteraannya dibanding puluhan sekolah lain se-kecamatan, mestinya bersyukur, meski pun quotanya tak bisa memenuhi semua Guru. Sebelum sampai pada ‘urut kacang’ proses sertifikasi, minimal kita dapat tunjangan fungsional dulu,” jelas Pak Yadi.

Menurut seorang pejabat di Diknas di Kecamatan Cimanggis - Depok, guna terhindar pemalsuan data, proses pemotretan di kantor diknas setempat. “Biar saja antri. Yang penting asli!” kata ibu pejabat diknas yang enggan disebutkan namanya. “Kerap terjadi kecurangan. Banyak didapati, data yang dimasukkan adalah data keluarga, adik, kakak, keponakan yayasan.” Wah ……..

Sekolah Pak Yadi yang berstatus swasta, memang sudah empat tahun belakangan ini mendapat tunjangan fungsional. Jatah satu sekolah tak sama. Umumnya tak semua Guru beroleh ‘durian runtuh’ ini. Kebijakan di Sekolah Pak Yadi, atas nomor rekening guru siapapun yang dialirkan dana tunjangan itu, dana akan dijadikan satu dan kemudian dibagi sejumlah Guru. Pemegang rekening mendapat leb prosentase lebih dibanding guru lain.

Manajer sekolah Pak Yadi selalu mengingatkan, dana-dana itu sebagai rejeki ‘iseng-iseng berhadiah’. Tak usah dilihat jumlahnya. “Datangnya juga seringkali tak dinyana. Tiba-tiba ada panggilan untuk ambil. Jumlahnya juga ‘tebak-tebak buah manggis’.”

Sebagai guru di sekolah swasta, kini semua guru diberi nomor NUPTK sebagai tanda diakui sebagai guru nasional. Implikasi memiliki nomor induk unik ini, adalah sebagai persyaratan seleksi sertifikasi. Ibarat tiket masuk, yang penting dapat nomer dulu. Sebelum memasuki antrian sertifikasi, dengan adanya nomor ini ia diakui keberadaannya sebagai Guru nasional.

Bagaimana jika Guru NUPTK itu pindah sekolah atau bahkan berhenti sebagai Guru? Kemana pun berada, jika tetap berprofesi Guru, nomor itu akan tetap melekat menempel. Jika pindah sekolah, buat surat pindah, dan diinfokan pada dinas setempat. Tak akan terjadi tumpang tindih karena data selalu di update. Sekolah yang ditinggalkan pun akan men-delete nama Guru tersebut.

CARA MENDAPATKAN NUPTK

Setiap sekolah swasta diminta mengirimkan data guru yang sudah diakui atau diangkat sebagai Guru Tetap Yayasan (GTY). Setelah data lengkap, kirimkan ke Diknas setempat. Selanjutnya, berfoto seperti Guru di sekolah Pak Yadi tadi.

Ada juga yang sudah mengisis daftar, namun NUPTK tak kunjung keluar. Ini banyak terjadi. Namanya juga projek massal. Ada saja yang terselip. Namun di beberapa kasus, seringkali guru swasta ‘under estimate’ atau menganggap tak penting proses yang memang rada berbelit ini.

“Ada guru yang isi daftar dengan asal-asalan, tak mematuhi Bank yang direkomendasi, sekadar mengisi daftar riwayat training. Bahkan saat bagian appraisal Diknas mengecek dengan cara menelpon ke nomor pribadi Guru, dijawab ogah-ogahan.

Ada Guru menjawab - tak tahu ya.. itu urusan yayasan. Wah … yang itu mah saya tak terlibat”, serta banyak jawaban lain yang serba meremehkan. “Yang begini memang beneran tak keluar nomornya. Jadi, salah siapa coba? Kalau sudah tak keluar nomor, sang kepala sekolah dikejar-kejar untuk mengurusnya. Nyebelin kan!” cerita Pak Yadi lagi.

“Menurut saya, ikuti saja lah prosedur. Diknas seringkali memang tak praktis, bahkan mendadak nyuruh ini-itu. Guru swasta sering mendua. Ingin disamakan Guru negeri dalam hal tunjangan, namun tak ngotot mencari informasi. Kita tahu kan, Guru negeri suka menempuh segala cara instan demi sertifikasi. Kalau diminta berubah maju, ntar-ntar! Sementara Guru swasta yang sedikit lebih baik tingkat gajinya, seringkali merasa ‘nggak begini lah caranya!’. Ya.. inilah Indonesia!” kelakar Bu Manager sekolah Pak Yadi.

Berfikirlah positif. Pemerintah sedang ‘berupaya’ mengangkat harkat kesejahteraan guru. Caranya memang belum patut. Guru sertifikasi tak serta merta memperbaiki kinerja. Mestinya Guru swasta dapat memaknai ini sebagai lecutan. Jangan ikuti mind set guru yang sudah puas menikmati kenaikan pendapatan: ‘ Ini kan buah yang sudah lama tak kami nikmati. Sudah terlalu lama susah. Sekarang ada tunjangan sebagai tambahan ya wajar saja!’. Duh… please deh, jangan ikuti arus ini ya.

Tetaplah memegang ruh pendidikan dengan meningkatkan teaching by heart agar tak runtuh nilai-nilai dan keberkahan yang sesungguhnya memang dititahkan pada Guru, Guru yang benar. Meski awalnya adalah Guru dasar atau Guru nyasar, jangan hanya jadi Guru bayar!

Siap di foto? Ya, satu dua tiga! Jepret!! Tersenyum wajah Guru di foto itu. TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Tidak ada komentar: