MGP-BE
Foto: Ibu Angie Siti Anggari menjelaskan soal manfaat buku besar dalam pembelajaran,saat pelatihan TOT untuk para dosen di Universitas Negeri Gorontalo.
Foto: suasana kelas PAKEM di sekolah dasar pedalaman di Kabupaten Gorontalo.
Belajar menggunakan cara PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan), sungguh-sungguh menyenangkan. Penciptaan situasi kelas menjadi bagus, anak bisa ngobrol berdiskusi, geser ke sana-sini bila perlu, bahkan ha-ha hi-hi. Rasa senang siswa muncul, senyum terlihat selalu mengembang di sudut bibir siswa, tanda ada kepuasan belajar. Secara psikologis, inilah keadaan alfa zone yang sangat ramah dengan cara kerja otak, untuk memulai pembelajaran.
Bagi mata awam, yang pertama terlihat adalah susunan bangku berkelompok, bukan berderetan mengarah semua ke pak/ibu Guru atau papan tulis seperti selama ini di kebanyakan sekolah. Berikutnya, pajangan karya anak yang ditempel-tempel di dinding kelas di mana saja, seolah menjadikan kelas terlihat ‘busy class’. Ketiga, pojok atau sudut membaca, berisikan buku panduan maupun bacaan bebas ringan namun tematik. Begitulah wujud fisik PAKEM.
Suasana ini berubah penuh semangat saat penghuninya –para siswa dan guru- beraksi. Kelas menjadi benar-benar hidup: aktif terkendali.
Eddy Budiono, master trainer MGP-BE, yang juga dosen di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, berkomentar tentang PAKEM dan perolehan belajar anak.
BELAJAR MELALUI INTERAKSI
Roh PAKEM adalah belajar melalui interaksi. Siswa berinteraksi dengan benda-benda sebagai sumber belajar. Siswa mencoba suatu kegiatan bereksperimen, dan dari sini menemukan jawaban masalah atau solusi.
Siswa berinteraksi dengan teman ketika berdiskusi, atau berinteraksi dengan abstraksi pemikirannya sendiri (melamun, berimajinasi). Saat berinteraksi itulah, ia mendapatkan sesuatu informasi yang menambah perbendaharaan pengetahuannya. Juga ada kesempatan membangun kemandiriannya sendiri. Dengan berbicara (komunikasi) , siswa membangun social intelligence-nya.
Ketika berinteraksi itu, ia menemukan gagasan/wawasan baru atau solusi pemecahan masalah, dia akan berteriak “aha” (aha fenomena). Ekspresi kepuasan terpancar di wajah siswa. Nikmatnya kepuasan “aha moment ” tentunya ingin diulanginya lagi, lagi, dan lagi. Ia selalu ingin kembali ke moment ini.
Tingkat kepuasan akan makin tinggi kalau masalah dibuat makin sulit. Siswa makin percaya diri, dan makin termotivasi mencari tantangan atau problem yang lebih dalam. Kalau setting tepat dan sesuai gaya belajar anak, guru dapat menuai “aha moment” ini pada setiap anak setiap waktu. Belajar dengan cara/metode PAKEM jelas sesuai dengan fitrah manusia, yang gemar berinteraksi setiap waktu, dan membutuhkan pemenuhan harga diri. PAKEM memanusiakan murid-murid kita.
Saat diskusi itu, di dalam otak anak ada penstrukturan kembali, sesuatu fakta baru di-link-kan dengan yang sudah ada. Seperti model ikatan senyawa molekul kimia, ada kaki-kaki senyawa yang siap menggabungkan komponen baru untuk membentuk senyawa baru yang lebih besar. Inilah saat pengetahuan dibentuk dan menjadi milik siswa. Terpatri di otak, menjadi konsep yang mudah di-recall kembali.
Foto: Eddy Budiono.
Siswa menjadi aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya itu. Dalam situasi belajar yang kondusif, menyenangkan, tanpa tekanan, ada kemerdekaan berfikir, ditambah keaktifan dan kreatifitas siswa, maka pembelajaran akan efektif mencapai tujuannya, yakni kebermaknaan dalam kehidupan.
Luar biasa pengaruh interaksi pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Amat merugi jika anak belajar tanpa memanfaatkan fitrah belajar alamiah ini, yaitu ketika anak menambahkan sendiri informasi yang dimilikinya.
CARA MEMBENTUK PENGETAHUAN
Lebih jauh, Eddy Budiono menjelaskan latar pemikiran pembelajaran PAKEM. Mengutip Jean Piaget (sesudah 1950-an), pengetahuan itu dibangun melalui interaksi dengan lingkungan. Seseorang tidak kosong pengetahuan, bahkan saat di kandungan. Bayi yang baru lahir menghisap jempol, menangis, dan memakan apa saja yang ditemui -- ini cara belajar lingkungan lewat indera mulut. Akan terus bertambah pengetahuan seusai perkembangan biologis syaraf di otaknya. Inilah yang disebut pembelajaran konstruktivisme.
Secara teoritis, menurut Vigotski, orang belajar melalui interaksi. Seseorang belajar atau membangun pengetahuannya dengan membangun interaksi dengan lingkungannya: sumber belajar (benda), dengan orang (teman), dengan abstraksi. Tapi ini ada keterbatasan. Dengan pendampingan dari orang yang lebih tahu, kemampuan belajar itu lebih meningkat lagi (zone maximal development).
Jelas ini berbeda dengan teori pendidikan sebelumnya, yang meyakini orang berpengetahuan (trampil) karena latihan. Melalui latihan (drill) terbentuk ikatan stimulus - respon. Jika hubungan stimulus dan respon kian kuat, terbentuklah suatu pengetahuan atau ketrampilan baru. Ini sebabnya, pendidikan kita menjadikan guru serba tahu (teachers center) karena akan melatih siswa.
Siswa pun diarahkan duduk berbaris arah ke depan, untuk mendengar dan mencatat ‘dari sang ahli’. Kondisi ini membatasi fitrah siswa bersosialisasi. Kenapa tidak pengetahuan itu kita manfaatkan dengan mendiskusikannya sehingga muncul keterampilan-ketrampilan lain yang tergolog soft skill?
PEMBIASAAN SOFT SKILL
Saat ini pendidikan kita, 90% terlalu berorientasi pada nilai (kognitif) mata pelajaran, kurang berorientasi pada kebutuhan siswa di masa depan. Untuk hidup sukses di masyarakat, ranah kognitif menyumbang 20% saja, sisanya 80% disumbang aspek ketrampilan (soft skill).
PAKEM mengembangkan strategi belajar yang tepat untuk ketrampilan dan pengetahuan sekaligus, yakni kompetensi pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. PAKEM menyegarkan implementasi kurikulum KTSP, yang cenderung pada pembentukan pengetahuan di ranah kognitif. PAKEM melengkapi pengembangan soft skill tanpa mengubah konten kurikulum.
Kebijakan pendidikan kita masih belum selaras. Syarat kelulusan siswa dengan skor tertentu, ikut membentuk paradigma di masyarakat, bahwa mutu pendidikan diukur ketrampilan kognitif saja – meski perannya kecil dibanding kemampuan afektif. Pembentukan soft skill memerlukan pembiasaan sejak Playgroup, TK, SD, SMP. Saat SMA atau perguruan tinggi cenderung sudah tak bisa dilakukan, karena vokasional sudah de depan mata.
Kebijakan sekolah gratis sesungguhnya justru terkesan menghambat partisipasi orangtua dan masyarakat memajukan pendidikan. Hal-hal di atas adalah sebagian dari problematika pendidikan. Sayang, pihak yang berwenang masih lambat menyesuaikan diri.TG
Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar