Oktober 24, 2010

Bukan IPA Sastra

MGP-BE



Tak mudah memang banting stir mengubah pola mengajar teachers center ke arah student centre, di mana istilah PAKEM menjadi ikon yang mudah diingat.

Dalam pola lama (teachers center), Guru selalu siap sebagai ahli, ingin menjelaskan segala hal tapi yang nyantel hanya secuil.

Yang membedakan antara student center dan teacher center adalah sudut pandang. Pada student center, siswa diajak melakukan sesuatu, dan hasilnya didalami dengan pengamatan atau menjawab pertanyaan untuk mencapai target-target belajar.

Orientasi student center, berangkat dari pengetahuan awal anak, keragaman gaya belajar anak, serta apa sekiranya paling memikat perhatian anak sebelum memahami sesuatu. Banyak pintu masuk yang sering disebut sebagai scene setting atau hook.

Wajar kalau sejumlah dosen kependidikan mata peserta ToT MGPBE, di Gorontalo, tampak tergagap-gagap mencobakan pendekatan baru ini. Meski menguasai ilmu sains, mereka tampak kesulitan mencari ide pembelajaran, susah memilih cara mengajar yang tepat, sukar mencari pintu masuk informasi awal yang relevan dengan pengetahuan awal anak.

Kebanyakan dari mereka kurang mampu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan menantang agar siswa berfikir lebih kritis. Bahkan beberapa peserta kesulitan menetapkan kompetensi dasar, tujuan belajar yang ingin dicapai, serta indikator pencapaian.

Menurut Kabullah Naim, master trainer mata pelajaran sains, yang juga pengawas TK- SD-SLB di Kec. Margorejo, Kabupaten Pati, Jateng, kesulitan ini lantaran para dosen atau guru terbiasa pada pembelajaran berpusat pada guru (teachers center) –guru menuangkan ilmu dengan menjelaskan, siswa mendengarkan. Buku-buku panduan pendidikan IPA pun masih dalam pendekatan ini.

Foto: Kabullah Naim, bersama para peserta pelatihan IP dalam program MGP-BE di Kabupaten Gorontalo.

“Kesalahan Guru, menjelaskan panjang lebar, sehingga IPA atau Sains seolah pelajaran IPA sastra.” Tambahan lagi, para Guru malas dan tak mau repot eksperimen, karena terkesan memakan waktu lama. Suara miring menyebut, buat apa mengajar IPA dengan cara PAKEM, kuatir nanti siswa tidak mampu mengerjakan tes UN.

Dengan PAKEM, siswa mengalami sendiri dan menulis sendiri. Ini akan lebih bermakna bagi pembentukan pengetahuan siswa. Guru harus memiliki kedalaman dan keluasan menyiapkan tugas siswa, dan merumuskan tujuan pembelajaran dengan indikator pencapaian disusun bergradasi, dari yang mudah, kepemahaman, aplikasiikasi, dan seterusnya (taksonomi Bloom). Kalau Guru hanya memberikan tugas-tugas ringan saja, bagaimana siswa mencapai kompetensi yang diinginkan.

“Berarti kita mendayagunakan potensi siswa dan potensi alam lingkungan. Misal, belajar sifat-sifat air menggunakan gelas air mineral dan tissue basah. Mengamati batu, dan sebagainya. Menjelaskan konsep IPA dengan bahan yang dikenal anak, tak perlu peralatan praktikum sehingga aspek teknik tak jadi hambatan. Lingkungan jadi menyenangkan untuk belajar, muncul keinginan terlibat aktif, dan tanpa disadari siswa sudah terlibat aktif dalam pembelajaran. Ini tantangan bagi Guru, untuk secara tepat menerapkan sehingga konsep sains itu bisa dimediasi melalui model pembelajaratn PAKEM,” jelas Masri Kudrat Umar, dosen UNG, salah satu peserta pelatihan sains.

JANGAN JADI GURU IPA SASTRA

Mengubah paradigma itu memang tak mudah. Saran Kabullah Naim, banyak-banyaklah membaca, dan menelaah karakteristik mata pelajaran. Dalam standar isi dijelaskan, bahwa IPA itu inquiri, atau penemuan. Jadi, tidak bisa Guru hanya memberi penjelasan. Anak harus menjalani aktifitas.TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Tidak ada komentar: