April 29, 2009

SD TUMBUH - Yogya Educational Spirit









Menempati bangunan lawas yang artistik, sekolah inklusi di Yogyakarta ini tampak tampil beda. Keanggunan bangunan tua yang dimanfaatkan secara cerdas justru menambah kekhasan sekolah yang didirikan oleh KPH H. Wironegoro, M.Sc, putra mantu Sri Sultan HB X. Teachers Guide berkesempatan mengunjungi sekolah yang dikepalai oleh Elga Andriana, S.Psi, yang merasa ‘sendirian’ di tengah kemajuan, perubahan, dan tuntutan masa depan.

Apa diferensiasi sekolah ini?
Kami percaya, sekolah itu dunia kecilnya masyarakat, cermin masyarakat sebenarnya, yang beragam dari sisi apa pun. Jadi kami mengibarkan diri sebagai sekolah inklusi. Bukan hanya untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), tapi secara holistik dari berbagai perbedaan: agama, sosial, kultur, ras, dan sebagainya. Inklusi kami ke depankan, dengan mengusung kultur komunikasi yang enak, setara, dan tak banyak birokrasi. Itu inti dari inklusi, yang menjadi pembeda SD Tumbuh.

Konon sekolah ini kental dengan gaya LSM yang militan. Adakah pengaruhnya bagi pengembangan sekolah ini di bawah kepemimpinan Anda?Saya banyak nyemplung di masalah gender dan hak-hak anak, di PLAN (LSM yang bergerak di bidang pembuatan mainan dengan barang bekas) dan di PAUD. Kami kuat sekali menyuarakan hak anak.
Enam tahun awal ini, tindakan afirmatif kami lakukan dengan mencari kemajemukan siswa, utamanya dari sisi, ras, etnis, dan agama Yang beragama Hindu dan Budha kan jarang, justru kami prioritaskan. Juga yang berbeda etnis.

Yang masih susah tentu yang berbeda ekonominya. Di sini ada siswa yang tidak membayar (gratis), bayar seratus lima puluh ribu, hingga empat ratus ribu rupiah. Secara umum, ancer-ancernya (kira-kira) Rp. 300 ribu lah untuk SPP. Ada juga adopting parent, untuk membantu siswa yang susah. Orang tua nggak merasa perbedaan ini sebagai kendala.

Kami mengkomunikasikan hal ini saat wawancara calon orangtua murid. Di situ filosofi orang tua sudah tergambar. Ketika diberitahu bahwa jika di kelas anaknya nanti ada siswa yang memerlukan subsidi, bagaimana? Apa ibu bisa bantu? Jika jawabannya: ”Saya yang capek kerja koq anak orang lain yang sekolah”, itu cukup menguatkan kami untuk menolaknya. Ada juga mencoba mau memberi uang pendaftaran lebih besar untuk menyuap saya, lha malah anaknya nggak saya terima.

Apa obsesi orangtua menyekolahkan anak ke SD Tumbuh?
Mencari sekolah yang menyenangkan bagi anaknya. Orangtua sangat paham, sekolah yang konvensional sudah ketinggalan. Hanya saja di Yogya ini pilihan tak banyak.

Active learning dan inklusi menjadi sesuatu yang kami tawarkan. Di awal buka sekolah, sebenarnya saya hanya mentargetkan 10 siswa saja. Eh, yang masuk 40 anak. Padahal kapasitas hanya 22 anak Sudah banyak koq orang tua di Yogyakarta yang paham dengan kebutuh­an ini. Lain pasti dengan di Jakarta ya. (Elga sempat sekolah di Australia untuk memperdalam ilmu kependidikan)
Bagaimana dengan Guru?
Guru kami lulusan Sanata Dharma, UGM, dan UNY. Kami memilih yang open mind. Meski ada juga yang macet di kreatifitas. Klik-nya ndak semudah it. Kerjasama dengan KPH Wironegoro sangat nyaman, utamanya masalah substansi dan support, terutama pada budaya.

Dalam inklusi ada kultur. Kami menyebutnya Yogya Education School. Sekolah ini berpijak juga pada tradisi. Karawitan, tari, batik, wayang, dan nembang serta ‘green school’ kini di-intra­kurikulerkan.

Tak ada perbenturan etnis?
Nggak tuh. Kekayaan etnis tetap kita apresiasi dalam ba­nyak hal, termasuk disampaikan di muka kelas. Inilah spirit Yogyakarta yang memang kami munculkan. Dalam diskusi masa depan bersama Pak Wironegoro, kami ingin juga membuka sekolah yang sama di tempat lain, tapi dengan mengangkat spirit lokasi, misal Solo Educational Spirit, begitu juga di Semarang atau Bali. Tapi kini kami belum berani membuka franchise. Ini mau kita kembangkan dulu.

Spirit menjemput masa depan? Juga sistem penyam­paian materi?
Meski kuyup dengan budaya dan tradisi, Guru berbahasa Inggris agar anak tetap connect de­ngan dunia luar. Siap jadi warga dunia, bukan hanya jadi warga Yogya. Ya ini harus dikawinkan.

Sementara pencapaian anak bisa dilihat dari praktek dan tertulis. Ujian dengan soal dari Diknas ha­nya kami lakukan pada akhir semester dua, untuk kenaikan kelas. Anak-anak gampang aja tuh ngerjain. Yang susah ya yang ABK. Sebisa mereka saja.

Nggak ada acara nggak naik kelas. Kalau inputnya beragam, nggak bisa dong keluar dari satu pintu dan satu tolok ukur. Tanggung jawab Guru untuk mencermati kekurangan anak.

Kelas 1-2, Guru kelas-nya ada 2 orang. Kelas 3 – 6, ada guru mata pelajaran, tapi tetap ada guru kelas. Yang nggak sanggup dirangkap kan guru matematika, kesenian, olah raga, dan Bahasa Jawa.

Ingin apa ke depan?
Saya pengin sekolah semua inklusi. Kehidup­an nyata kan begitu. Mbok ya anak disiapin. Biar melihat keragaman itu dengan nyaman.

Di K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) di sini, saya merasa seperti allien. Saya masih belum tahu cara meleburkan diri. Sebab, 180 derajat berbeda. Suara aya nggak pernah didengar …… Mereka merasa senior dan merasa sekolah favo­rit. Semua pake seragam pula. Saya sendiri yang nggak pake.

Saya pengin punya teman, punya organisasi yang memiliki semangat yang sama. Yang kalau sedang mengikuti seminar, ya mestinya mendengarkan, menyimak. Yang ada mereka ngobrol sendiri. Lha… dari masalah mendengarkan saja saya sudah merasa nggak cocok sama mereka. Sekedar berkenalan saja dulu.

Sekolah ini mulai beroperasi 2005. Ada respon positif yang mengatakan bahwa SD Tumbuh cukup berani, dan inovatif. Yang negatifnya ya tentang inklusi itu. Masih ada orang yang mengatakan: “Jangan sekolah di Tumbuh, emang anakmu sakit apa? Kurikulumnya apa?” Value juga dipertanyakan, karena ada anak keturunan Belanda.

Ada pula yang protes, katanya sejak sekolah di SD Tumbuh, anaknya jadi nggak disiplin. Alhamdulillah, hal ini di jawab oleh orang tua lain yang mengatakan bahwa: ‘Urusan disiplin itu urusan orang tua dhewe lah…gak biso opo-opo diserahke sekolah’ hii..hii… ternyata yang disebut disiplin ala orang tua ini sebatas baju dimasukkan rok, kaos kaki, bersepatu……..Ooooo kalau yang itu mungkin nggak terlalu esensial ya. Kapan lagi kita memberi ruang pada anak. Peneguhan sikap akan bisa dilakukan dengan dialog.

Teachers Guide sempat pula meninjau kegiatan PLAN, yang melakukan pelatihan rutin aplikasi 3R (reduce, reuse,recycle). Segala barang bekas bisa jadi mainan. Spirit Yogya tak pernah padam! TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.




3 komentar:

Syane Ratar mengatakan...

Wowww senang sekali membaca artikel tentang SD Tumbuh - Yogya Education Spirit. Mohon informasinya jika SD Tumbuh bisa mendirikan sebuah cabang di Timika Papua. Saya secara pribadi tertarik dengan visi dan misi dari sekolah ini, penerapan pendidikan yang tidak saja di adapt dari sistem nasional tapi mempersiapkan anak didik untuk kondisi internasional tanpa menghilangkan budaya lokal.

Salam
SyaneR-(YPJ School- Kuala Kencana Papua)

cathy belle mengatakan...

saya uda lama penasaran dg keberadaan sd tumbuh,,ternyata semakin jelas stlh saya baca artikel ini. Saya juga pernah observasi di daerah jogja juga,bernama Sanggar Anank Alam hal sejenis yang saya simpulkan yaitu "inklusi". Sangat menarik.

wiwin mengatakan...

akhirnya saya menemukan profile tentang SD Tumbuh, karena anak suami saya sekolah disana, setelah ibunya menikah lagi dengan orang yogya dan setelah itu kami putus konta, ingin sekali berkunjung ke sana untuk bertemu dengannya.